Find us on Google Plus

header ads

BENNY KADARHARIARTO - DoP

Lelaki kelahiran Bandung ini berkecimpung di dunia produksi sejak awal-awal zaman production house baru mulai di Indonesia. Walau punya pengalaman bejibun, tapi ia tetap tak mau sesumbar, dan dengan rendah hati memilih menyebut diri hanya sebagai kameramen. Untuk membagi pengalamannya, ia sering berkeliling ke kota-kota di Indonesia.



Sebelum pergi ke Bali untuk acara sharing berikutnya, ia menyempatkan diri sharing ilmu dan pengalamannya kepada Anda melalui Veegraph Magazine. Berikut ini sharing dari Benny Kadarhariarto selengkapnya.

Sekarang kesibukannya apa?
Kesibukan saya sekarang itu ya shooting-shooting company profile, video clip dan iklan. Juga “mengasuh” beberapa komunitas antara lain; DSLR Cinematography Indonesia (DCI) yang beranggotakan 22000 orang. Digital Photography Indonesia yang membernya skitar 3000. Dan kita juga baru bikin web dslrindonesia. org.id

Anda juga director TVC dan iklan ya? 
Kalau dibilang director TVC nggak lah. Saya lebih banyak mengerjakan company profile dan video clip.

Sejak kapan mulai shooting? 
Wah kapan, ya? Saya baru, koq. Pertama kali shooting itu tahun 87 kali ya. Sebelumnya, profesi lainnya apa? Sebelum ini profesi saya nggak ada, cuma di film saja Pertama saya kerja di departemen audio sebagai sound recordist terus sampai ke sound designer di film layar lebar. Terus saya pindah departemen directing di skitar tahun 95. Jadi 1st AD (astrada) di film iklan. Terus sempat jadi executive producer di sebuah PH iklan. Terus juga jadi producer freelance untuk film iklan. Dan baru akhir-akhir ini saja jadi Cameraman.

Masih inget pengalaman pertama kali shooting? Untuk klien apakah itu? Bagaimana pula dengan perangkat shooting saat itu, pastinya belum secanggih sekarang dong yang serba compact. 
Hahahaha. Jadi kebetulan waktu saya shooting sama satu PH terbesar saat itu. Katena film. Jadi waktu itu saya jadi sound recordist untuk iklan BCA. Saat yang nggak pernah saya lupakan. Karena biasanya di kampus equipment sederhana, begitu turun ke lapangan dengan alat yang sangat serius dan lampu-lampu yang serem-serem. Yang ada saya bengong. Tapi untungnya saya cuma di-calling untuk nge-record guide track. Jadi saya punya banyak kesempatan untuk belajar. Akhirnya saya jadi sering shooting sama mereka, dan saya belajar buanyaaaak banget sama mereka. Kalau soal equipment pastinya berkembang dari waktu ke waktu. Jadi memang kitanya yang harus selalu mengupdate diri kita sendiri. Karena begitu kita santai dikit, teknologi sudah jauh meninggalkan kita. Jadi dasarnya, kita harus tetap belajar, belajar dan belajar.

Katena saat itu dibawah Garry Hayes, kah? PH masih belum banyak ya? 
Iya bener sama eyang Garry. PH iklan pada waktu itu sangat belum banyak, dan masih “dikuasai” oleh orang-orang dari luar terutama bule. Jadi saya punya kesempatan banyak untuk belajar dari mereka, dan itu saya bilang bagus banget. Terbukti keluaran PH zaman itu bagus-bagus.

Garis besarnya, apa perbedaan shooting dulu dan sekarang? 
Shooting zaman dulu sama sekarang yang paling berasa adalah disiplinnya. Dulu itu berasa banget shooting amat sangat teratur dan tertata rapih. Semua dipersiapkan secara matang. Jadi sangat sedikit sekali miss di lapangan. Sementara zaman sekarang, disiplin itu sudah sangat berkurang banyak. Tapi itu juga di sebabkan karena teknologi post sekarang sangat beda dan sangat mendukung. Post atau editing saat ini bisa memperbaiki banyak kesalahan yang dilakukan di lapangan. Banyak director yang akan bilang, we can fix it in post.

Belajar cinematography di mana? Saat kuliah, atau dari tempat lain?
Saya kebetulan saya berkesempatan kuliah di IKJ. Jadi saya mendapatkan basic yang sangat kuat disana. Lalu saya kembangkan dan belajar di lapangan.

Dengan semakin berkembangnya peralatan, terutama peralihan ke digital, apakah menjadi sinematographer jadi lebih mudah? 
Dengan era digital ini sebenernya sih sama aja ya. Cuma memang jadi banyak kemudahan. Tapi jeleknya, banyak orang yang menganggap mudah sebuah shooting. Padahal ya nggak semudah itu. Banyak sekali hal yang harus di pelajari. Jadi sekarang itu banyak teman-teman yang baru bisa nyalain kamera, pencet rec, jadi gambar, udah triak saya DOP. Padahal saya sendiri masih belum berani menyebut diri saya DoP. Jadi memang beda kebutuhannya dulu sama sekarang

Secara prinsipil, sebetulnya apa yang harus dimiliki seseorang agar bisa disebut DoP? 
Yang pasti seorang DOP itu harus tahu basic photography. Baik itu di kameranya, maupun di lightingnya. Lalu dia harus menguasai alat yang akan dia pakai. Dengan menguasai alat yang dia pakai, dia akan bisa memaksimalkan penggunaan alat itu, baik dari kelebihannya maupun dari kekurangan alat tersebut. Setelah itu dia harus bisa menterjemahkan sebuah skenario menjadi sebuah gambar dengan konsep-konsep yang diinginkan sutradara sebagai orang yang akan bercerita melalui gambar tersebut. Lalu dia juga harus bisa “mengendalikan” teamnya untuk mendukung sebuah produksi. Mungkin itu kali ya yg dimiliki seorang DoP. Kalau Anda sendiri belum berani menyebut diri sendiri sebagai DoP, jadi

Anda lebih merasa sebagai apa sekarang? Director kah, atau seorang instruktur, atau apa tepatnya? Hahahaha. Saya baru berani menyebut diri saya cameraman. Kalo instruktur atau pengajar, saya baru belajar juga.

Anda sering berpergian ke kota-kota di Indonesia untuk memberi pelatihan ya sekarang? sudah kemana saja kah? 
Hmmmmm kemana saja ya? Kemarin di Bengkulu, kemarinnya Jogja, Malang, Makasar, Bandung. Besok ke Bali, Medan, Jogja lagi, sama Surabaya.

Tepatnya, materi yang disharing itu lebih ke photography still foto, atau shooting? 
Saya lebih sering sharing soal cinematography atau videography.

Bagaimana animo masyarakat untuk mempelajari photography atau shooting? 
Hmmmmm. Kalau saya boleh bilang, kalau untuk photography itu dari dulu nggak pernah turun. Pasti ada saja generasi baru yang menggantikan yang tua. Dan kalau saya bilang, di setiap gang itu ada komunitas photography. Jadi semua orang bisa punya akses yang sama untuk mempelajari photography.

Tapi itu kalau saya bilang sih bukan sebagai pengajar ya, tapi saya lebih suka bilang sharing saja. Itu tadi buat photography.

Nah, untuk cinematography, itu masih amat sangat jarang orang yang mau sharing masalah itu. Beruntung sekali ada beberapa orang yang membuat sebuah group di facebook dengan nama DSLR cinematography Indonesia. Sehingga banyak banget teman-teman yang bisa nanya apa saja, kapan aja disana.

Bedanya photography dan cinematography itu kan, kalau foto, jepret, bisa langsung di lihat hasilnya. Sementara kalau film, itu kan banyak tahapan yang harus dilalui. Sebelum shooting ada tahapan pra produksi. Disitu dibahas dan dibuat skenario. Dari skenario itu akan ditentukan pemain, lokasi, dll, dll, dll, dll.

Habis itu shooting.

Di shooting juga banyak hal yang harus diperhatikan. Ada directing, ada camera, ada audio, kadang ada banyak lagi faktor pendukung kaya fighting, atau special effect, dll, dll, dll, dll. Setelah shooting masih ada lagi tahap editing. Habis editing ada lagi audio mixing. Jadi mempelajari cinematography, nggak semudah kita belajar photography. Banyak banget hal yang harus dipelajari di balik pembuatan sebuah film. Kalau asal jadi saja sih ya gampang.

Bagi yang mau mempelajari sinematography/fotography, apa saran Anda buat yang baru mau mulai? Tips buat yang mau belajar? 
Apa ya? Karna kaya saya bilang tadi, banyak banget soalnya. Jadi nggak ada short cut untuk itu. Tapi yang paling mudah tapi mahal adalah, terus belajar bikin film. Dari kesalahan-kesalahan waktu kita bikin film itu kita bisa belajar banyak banget. Itu cara yang paling mudah tapi mahal.

Bagaimana dengan perangkatnya, apa minimal harus menggunakan DSLR? 
Equipment. Kalau untuk belajar, saya dan temen-teman di DCI selalu akan bilang, gunakan apa saja yang ada di depan kamu. Jangan bilang, gua bisa bikin film bagus kalau dengan camera Arri Alexa, Redcam dan equipment-equipment dewa. Memang, dengan alat itu pasti bisa bagus. Tapi produksi dengan budget besar dan hasilnya bagus, itu sih biasa. Yang seru itu kan produksi dengan budget minim, tapi hasilnya dahsyat. ***

Artikel dan interview oleh: Fitra Sunandar
(Dilarang menyadur/mengutip/mempublikasi ulang tanpa mencantumkan sumber dan nama penulis)

Post a Comment

0 Comments