pula praktisi dan studio yang berkecimpung di ranah tersebut, salah satunya adalah Gaga
Animation Studio.
Gaga Nugraha Ramadhan - atau biasa dipanggil Gaga - si empunya studio, sebetulnya satu dari
sekian CG artist yang mendirikan studio animasi baru. Ada beberapa orang lainnya yang juga
melakukan langkah yang sama, baik itu mendirikan studio animasi untuk produksi iklan, atau pun
yang lebih berkonsentrasi untuk memproduksi serial animasi untuk televisi.
Semoga saja hal ini menjadi pertanda baik bagi perkembangan industri animasi di Indonesia.
Selengkapnya obrol-obrol via sos-med dengan bapak 2 anak ini, silakan disimak berikut ini:
Gaga Nugraha Ramadhan. Foto oleh: Ario Faisal |
Habis mengerjakan job apa nih? Bisa cerita sedikit tentang job terakhir itu?
Ini lagi finishing film terbarunya mas Garin Nugroho judulnya “Soegija” (sugiya) cuma
kebagian beberapa shot yang dikasih VFX, tapi segitu juga udah seneng bisa ikut terlibat.
Kisah biograpi uskup pertama Indonesia bernama Soegija (baca: sugiya) dan sepak terjangnya
dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. VFX sebenarnya tidak terlalu banyak, karena backgroundnya perang jadi butuh tambahan VFX ledakan dan tembak-tembakan.
Sejak kapan sih mulai berkecimpung di dunia 3D?
Pertama kenal software 3D mungkin sekitar tahun 2001 kalau tidak salah 3DS MAX V.3, asli waktu itu pusing banget mau belajar gak ada tutorial yang bagus seperti saat ini. Waktu itu yang ada buku berbahasa Indonesia yang ternyata cuma hasil translate dari help. Kemudian di sekitar tahun 2002 seorang teman memperlihatkan sebuah video demo software animasi 3D Alias | Wafefront MAYA, judul videonya “The Art Of MAYA” saya langsung terpukau deh sama software ini terutama untuk
Artisan toolnya (Sclupting, 3DPainting, PaintFX).
Kali ini saya lebih serius belajar, saking minimnya materi belajar karena untuk beli buku import tak punya uang dan tak tau mesti beli dimana, akhirnya saya print deh helpnya, hasilnya tetap tak bisa, hhehehe.
Eh, dasar rezeki suatu hari temen bawa buku Mastering Maya 2, langsung aja saya fotocopy habis sekitar seratus ribu rupiah waktu itu masih lebih murah dibanding beli bisa 1 juta. Alhasil buku itu menjadi teman akrab pada saat itu. Tak lama kemudian saya pun dapat kesempatan magang di Risallah Animation Studio, Bandung. Lumayan banyak pencerahan teknis deh di sana. Intinya kalau istilahnya pada awal 2004 saya mulai masuk ke dunia industri iklan. Karier diawali di Double Click Post lalu pindah di pertengahan 2004 ke VHQ Post hingga akhir 2007.
Sekarang sudah bikin studio sendiri ya?
Ya bener, semenjak keluar dari VHQ, awal 2008 itulah saya langsung buat studio sendiri, diawali sendirian, tapi kadang juga dibantu freelancer lain. Setelah berjalan 2 tahun seiring meningkatnya demand dan ekspektasi dari para klien, saya menghire 2 assisten tetap untuk membantu. Perlahan studio ini pun berkembang. Saat ini sedang membangun studio sendiri yang lebih nyaman.
Boleh tahu apa nama studionya?
Nama studio jujur gak ada ide, akhirnya setelah jalan 2 tahun dinamain GAGA Animation Studio
saja.
Sejak berkecimpung di industri 3D, project apa yang paling berkesan? Bisa ceritakan tantangan dan suka-dukanya dalam pembuatan project tersebut.
Yang paling berkesan pasti iklan pertama yang dibuat Bodrexin “beruang termometer”. Waktu
itu istimewa banget hasil karya kita tayang di TV nasional. Prosesnya ya banyak masalah teknis
maklum pengalaman pertama.
Dari cerita di atas, berarti main software yg digunakan sekarang Maya ya?
Ya betul software utama sampe saat ini Maya.
Apa perbedaannya belajar 3D saat mulai di tahun 2001 dulu dengan kondisi sekarang?
Oh jelas beda. Hambatan pada saat itu lebih berat dibanding saat ini. misal hardware pada saat itu gak sekenceng sekarang. waktu itu masih pake Pentium 3, mau belajar beratnya setengah mati. Belum lagi terbatasnya informasi atau tutorial yang berkualitas.
Banyak perkembangan dari sisi softwarenya juga misal mau ngejar rendering bagus tak seperti
sekarang pakai Mental Ray atau V-Ray lebih praktis. Dulu pakai scanline atau software render
harus pakai teknik faking.
Seiring dengan makin mudahnya belajar 3D, apakah juga makin banyak persaingan di industri animasi, terutama di sektor TVC, Setidaknya dibandingkan saat mulai menjadi freelancer?
Pesaing tentu saja bermunculan dan semakin bagus-bagus. Sebagian CG artist senior juga semakin berat melawan gempuran para pendatang baru.
Kalau memang benar praktisi CG makin banyak, apakah menimbulkan persaingan tidak sehat seperti perang tarif misalnya?
Syukurnya persaingan masih sehat. Perang tarif tentu juga sempat terasa. Tapi persaingan yang utama bukan di harga tapi di kualitas.
Selama demand untuk animasi masih tinggi harga animasi masih stabil. Tapi kalau demand menurun baru harga terpengaruh.
Selain sering membuat animasi untuk TVC, apakah ada project lainnya seperti membuat serial atau short film misalnya?
Sampai saat ini niat untuk mengerjaikan animasi di luar TVC besar, tapi kemampuan dalam hal ini waktu dan tenaga masih belum ada. Untuk diluar TVC kita baru mulai masuk ke film saja. Ada saatnya kami masuk ke bisnis serial juga.
Melanjutkan soal persaingan, apakah juga terjadi persaingan dalam hal ‘service’ kepada client? Misalnya dengan memenuhi semua revisi walau terasa tidak masuk akal sekalipun? Atau misalnya lagi dengan stand by di post house dengan laptop seandainya ada revisi, hingga bisa dilakukan revisi di tempat?
Harus disadari profesi animator atau CG artist merupakan bidang jasa, yang bertumpu pada
kualitas service. Namun melayani revisi yang tidak masuk akal bukan merupakan bagian
dari persaingan tapi apabila diakomodir justru merugikan. Berbeda kalo kita harus standby
di Post house karena tuntutan dari industri ini untuk bisa merespon cepat, karena biasanya
iklan ada deadline yang berkaitan dengan jadwal penayangan dimedia. Tapi standby di post itu sifatnya conditional, sesuai kebutuhan saja.
Mengenai revisi dari client yang tidak masuk akal itu, jadi memang ada ya? Seperti apa aja
sih misalnya?
Revisi yang tidak masuk akal itu misal revisi yang berubah-ubah atau plin-plan, bolak-balik.
Sudah sampai on-line present balik lagi ke offline atau shooting lagi. Bisa setahun ngerjain
satu job.
Mengenai serial, apa gambaran yang bisa Anda jelaskan tentang film animasi untuk televisi ini, mengapa banyak serbuan film animasi dari luar, tapi sedikit sekali yang buatan dalam negeri.
Kenapa animasi kita tidak bisa exist di TV nasional?
Menurut saya ada beberapa aspek. yang pertama memang industri animasi kita baru di bangun, karena industri animasi kita baru berkembang pesat di era digital animation. SDM juga baru berkembang pesat beberapa tahun terakhir, jadi productnya juga belum banyak.
Kedua karena kapitalisme. Animasi luar lebih murah dan bagus, pasti lebih menguntungkan. Studio lokal akan kesulitan untuk menyaingi harga animasi yang dibuat 1970-an seperti Doraemon.
Ketiga dari segi kualitas banyak animasi kita masih kurang baik sehingga tidak bisa bersaing
dengan animasi luar.
Apa kendalanya juga karena masalah budget. Untuk yang biasa mengerjakan TVC, animasi
sepanjang 10 detik mungkin bisa dapat 50 juta, sementara di serial harus membuat yang sepanjang 25 menit untuk nilai rupiah yang sama.
Kalau saja bisa 50 juta per episode, saya masih mau kerjain tuh. Yang saya denger sih jauh lebih murah masih di angka belasan. Mudah-mudahan sih sudah berubah ya.***
Artikel dan interview oleh: Fitra Sunandar
(Dilarang menyadur/mengutip/mempublikasi ulang tanpa mencantumkan sumber dan nama penulis)
0 Comments