Find us on Google Plus

header ads

TONI MASDIONO - Ilustrator & Komikus

KOMIKUS dan ilustrator senior ini masih sangat aktif berkarya, walau merasa energinya sudah tak sekuat dulu lagi. Lulusan Senirupa ITB tahun 87 ini juga aktif ikut serta dalam kegiatan yang  berkenaan dengan komik, seperti Popcon Asia tahun 2013.

Pria beranak dua yang tinggal di Bandung ini sengaja datang ke Jakarta untuk bisa ikut meramaikan acara tersebut, dan dengan murah hati meluangkan waktu untuk bisa berbincangbincang tentang komik dengan veegraph.com

Toni Masdiono


Sekarang kegiatannya apa?
Lebih banyak gambar ilustrasi dan sedang merencanakan komik saya sendiri. Masih menangani  beberapa komik lokal yang dari dulu sudah saya tangani dari tahun 80-an, kira-kira ada 3 buletin lokal dan majalah bahasa Sunda. Juga menangani beberapa kerjaan dari luar, ada dari Singapura.

Sekarang saya juga diangkat jadi Art Director assosiasi komik di Singapura. Sekarang saya juga lagi menangani ilustrasi, yang rada aneh, karena untuk opera. Jadi untuk semacam Art Book, buku yang memuat tentang ceritanya seperti ini, artisnya si ini, rancangan bajunya seperti ini.

Saya juga ngajar di Sekolah Tinggi Desain di Bandung, sewaktu-waktu ngajar di Untar juga, dan jadi dosen tamu di IKJ.

Sejak kapan membuat komik dan ilustrasi?
Mulai jadi kartunis sejak tahun 1979-an, pernah jadi penulis juga untuk majalah waktu masih SMA awal. Dulu bikin kartun untuk majalah Intisari, majalah Anda, Kawanku. Baru ke Gramedia sekitar tahun 90 untuk ilustrator novel, di majalah Intisari dan majalah Bobo.

Baru masuk komik itu sekitar tahun 94-95 untuk album Ganesha Bobo. Pernah juga bikin karakter
komik untuk majalah Sequen, namanya Sima, mirip Indiana Jones begitu. Saya tidak terlalu ngotot ngangkat karakter. Cerita itu juga macet karena majalahnya berhenti.

Pernah membuat buku juga, ya?
14 Jurus Membuat Komik. Saya ingin memotivasi anak muda. Dulu semua orang selalu bingung kalau kita mau ngirim komik ke majalah. Buku itu saya bikin tahun 98, tapi idenya sejak saya SMP karena saya suka mengajari temanteman bagaimana caranya bikin komik. Dulu tuh saya suka meniru Jan Mintaraga kalau sedang mengajar. Terus sekitar tahun 97 saat sedang krisis, penerbitan komik distop. Waduh, nanti kita tidak akan punya tukang bikin komik kalau kaya gini. Saat itu saya menjelang 40 tahun, generasi saya sebentar lagi lewat, terus siapa dong? Makanya saya bikin buku itu. Alhamdulilah terakhir sudah 10 kali dicetak ulang.

Ada rencana membuat buku lagi?
Ada, topiknya masih komik sedang saya susun dengan teman dari Singapura, karena dia berpikir buku saya sebaiknya dalam bahasa Inggris karena masih menurut dia buku itu kelasnya bukan kelas lokal.

Punya studio komik juga?
Saya punya studio kecil, tapi kerjanya tidak harus ada di rumah. Jadinya kerjanya online. Yang satu ada di Cikampek, yang satu di Malang. Jadi kita kerja di tiga kota tapi sama-sama nanganin proyek. Kita menawarkan jasa pembuatan komik.

Pengaruh sosial media?
Distribusi jadi lebih mudah. Tapi kelemahan kita di bahasa, kita kurang pede kalau harus berbahasa Inggris. Itu yang sekarang sedang saya dorong kepada teman-teman. Saya jadi juri kartun tiap tahun di China, dari Indonesia karyanya bagus hanya terlalu lokal. Topik dan berpikirnya lokal. Jadi mereka menanyakan, ini menarik, tapi maksudnya apa? Kenapa tidak membuat content yang global. Jadi dibaca dimana pun orang bisa sama tertariknya.

Perkembangan industri komik di Indonesia bagaimana?
Sangat menarik. Popcon 2013 ini salah satu tanda. Makin banyak studio anak-anak muda yang profesional. Di lokal sendiri penerbitnya hanya itu-itu saja. Dan banyak komikus malas berurusan dengan penerbit besar. Yang masuk penerbit besar kebanyakan komikus baru, yang bagus-bagus dapat order dari luar.

Apakah penerbit sekarang lebih terbuka dari sisi editorial?
Penerbit itu, kita ngerti, mereka cari duit. Tapi mereka tak boleh terlalu underestimate terhadap karya lokal. Mereka lebih menghargai karya luar.

Sekarang yang saya lakukan dengan beberapa teman adalah membuat komik yang lebih serius ceritanya, lebih dewasa sedikit. Kita tidak lagi membuat komik yang mainstream. Seumur saya sudah tidak sanggup mengejar deadline komik industri. Tapi yang muda-muda kita dorong untuk yang mainstream. Tapi ya apa boleh buat cari di luar, karena di luar kebuthan itu besar sekali.

Untuk genre, penerbit sudah jelas lebih condong yang ke-manga-manga-an, korea-korea-an. Disini sudah banyak yang gayanya seperti itu. Hanya kelemahannya komik kita, kerjasama dengan tukang ceritanya yang ketinggalan. Yang kita butuhkan sekarang pencerita yang tangguh untuk komik.

Di Filipina, mereka punya asosiasi penulis komik, yang hanya menulis untuk komik. Dan mereka masih bisa dipecah, ada asosiasi penulis komik wanita, komik pria, komik wanita remaja, wanita dewasa, masing-masing ada sendiri. Kita gak punya. Karena mungkin dari sejarah, dulu antara tukang cerita atau sastrawan dan komik selalu diadu, seolah-olah kalau baca terlalu banyak gambar nanti jadi bodoh.

Jadi penulis cerita untuk komik di Indonesia masih sangat kurang?
Langka. Langka orang yang fokus ke sana, memang agak sulit karena penulis komik harus bisa membayangkan gambarnya.

Harapan akan Industri komik Indonesia ke depannya?
Harus maju terus. Generasi saya ini sebentar lagi akan habis, sudah tambah tua. Eneri saya sudah tidak sebanyak tahun-tahun lalu. Yang muda-muda harus terus masuk ke industri yang mainstream.

Saran untuk orang yang ingin berkecimpung di dunia komik?
Jangan masuk dunia komik terlalu tua, itu saja. Semuda mungkin bisa masuk, masuk lah. Orang Amerika yang sekarang jadi komikus besar, mereka masuk dunia komik itu rata-rata umur 20-an. Sekarang mereka sudah jadi profesional.***

Artikel dan interview oleh: Fitra Sunandar

Post a Comment

0 Comments